RSS Subscription

Subscribe via RSS reader:
Subscribe via Email Address:
 
Posting News

Implikasi Pemberlakuan PP No 72/2005

Posted By Desa Mandiri On 22.36 0 komentar
Oleh Didik G Suharto

SATU lagi Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan untuk menjabarkan UU No 8 / 2005 tentang Perubahan atas UU No 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain sudah sangat ditunggu- tunggu, keberadaan PP Nomor 72 Tahun 2005 ini juga amat strategis. Kestrategisan PP terletak pada substansi materi yang dikandungnya. PP No 72 / 2005 mengatur tentang desa, di mana pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan terbawah yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat.

Di era otonomi, di tingkatan desa-lah potensi-potensi masyarakat ideal untuk dikembangkan. Mengingat strategisnya PP tersebut, tak aneh kemudian menjadi sorotan banyak pihak, tak hanya dari kalangan masyarakat awam, namun juga stakeholders pemerintah daerah dan terutama para penyelenggara pemerintahan desa.

Besarnya perhatian terhadap PP tidak terlepas dari beragam kontroversi yang ada dalam UU No 32 / 2004. Di antara kontroversi itu menyangkut eksistensi kepala desa (kades) dan sekretaris desa (sekdes). Nuansa pro dan kontra mulai merebak tatkala UU itu diterbitkan. Dalam perjalanannya, sudah berulangkali muncul tuntutan-tuntutan dari kades maupun sekdes. Selain masalah masa jabatan kades yang mana terjadi silang pendapat antara kades dan sejumlah pemerintah daerah, juga dalam waktu bersamaan masalah status sekretaris desa (sekdes) mencuat ke permukaan. Seperti telah banyak diberitakan media massa, berulangkali ribuan sekdes se Jawa-Bali beberapa waktu lalu berbondong-bondong ke Jakarta memperjuangkan harapan mereka kepada pemerintah / DPR agar sekdes bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) tanpa persyaratan menyulitkan.

Keresahan-keresahan terkait kelambatan turunnya PP No 72 /2005 masih ditambah kenyataan riil bahwa sejak UU No 32 / 2004 diundangkan, maka UU No 22 / 1999 dinyatakan tidak berlaku. Dengan kata lain, tidak ada dasar hukum kuat untuk mengatur pemerintahan desa.

Pasal-pasal dalam Bab XI belum bisa efektif dilaksanakan mengingat tidak adanya PP sebagai pedoman lebih lanjut dari UU No 32/2004. Akibatnya, di sebagian daerah kondisi ini menghambat proses pelaksanaan pemerintahan desa, misalnya terjadi penundaan pemilihan kepala desa dengan alasan menunggu PP yang baru.
De-otonomisasi

Sejak 30 Desember 2005 lalu, PP No 72 / 2005 mulai diberlakukan. Sebagai layaknya setiap peraturan, PP ini juga membawa beberapa kemungkinan implikasi. Dapat dimajukan di sini antara lain, pertama, implikasinya terhadap aspek politik pemerintahan. Ada pendapat, aturan yang terkandung pada UU mengesankan desa akan "diformalkan" dengan merubah beberapa status yang menyebabkan desa menjadi kian tersubordinasi dan sebagai bagian hegemoni tingkatan pemerintah di atasnya. Kondisi demikian di satu sisi menguatkan otoritas kabupaten/kota terhadap desa, di sisi lain memperlemah otonomi desa. Pemerintahan desa tidak lagi dipandang sebagai unit pemerintahan yang otonom, dengan kata lain berlangsung proses de-otonomisasi di desa.

Contoh, dibukanya ''jalan" bagi desa untuk berubah status menjadi kelurahan (Pasal 5 dan 6). Juga tampak dari mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban kades yang lebih berorientasi vertikal, sedangkan pengawasan horizontal mengalami pengurangan peran. Berdasar versi ketentuan sebelumnya, kades bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada bupati. Sementara pada ketentuan baru, kades bertanggung jawab kepada rakyat yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati/wali kota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kades hanya memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj).
Dari sisi keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa juga mengalami perubahan. Anggota BPD sekarang adalah wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Mereka terdiri dari ketua RW, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya (Pasal 29, Ayat 1). Di sini otonomi masyarakat untuk memilih langsung anggota BPD menjadi terkurangi.

Kedua, implikasi terhadap aspek sosiologis. Klausul berubahnya status sekdes menjadi PNS menandai bergesernya struktur dari yang sifatnya tradisional menuju ke arah lebih modern. Sebelumnya, status desa yang informal identik dengan hubungan yang bersifat kekeluargaan antara perangkat desa dengan warganya. Hubungan tersebut tidak kaku dipisahkan oleh sekat yang formalistis.

Namun dengan semakin kukuhnya posisi dan status sekdes sebagai pegawai negeri atau bagian struktur formal pemerintahan, maka berimbas pada jalannya roda pemerintahan desa yang mengacu karakter legal secara ketat. Sangat mungkin nuansa sentralisasi pemerintahan kian kental, di mana dalam kondisi tertentu orientasi pada (kebijakan) pemerintah tingkat atasnya lebih mendominasi. Meski demikian, tidak bisa seratus persen dikatakan bahwa pergeseran posisi dan status sekdes otomatis akan semakin "menjauhkannya" dari komunitas masyarakat, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sekdes masih sebagai bagian warga setempat.

Ketiga, implikasi terhadap kades dan sekdes. Aspek inilah yang sampai sekarang sering mengundang polemik. Dalam hal ketentuan yang mengatur tentang kepala desa, kelemahan yang menonjol ialah tidak banyak dijabarkannya dengan jelas pasal mengenai hak kades. Hanya dijelaskan pada Pasal 27 (Ayat 1), bahwa kades dan perangkat desa -selain sekdes yang PNS- diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Selain pasal itu, kesejahteraan kades sama sekali tidak disinggung. Padahal perihal tugas, kewajiban, dan larangan kades dijelaskan secara rinci, sehingga terkesan kurang ada keseimbangan antara hak dan kewajiban dari kades. Ketentuan lain yang dipersoalkan sebagian kades ialah masa jabatannya yang hanya selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Sementara isu, terkait sekdes yang menonjol ialah perubahan status sekdes menjadi PNS. Dinyatakan dalam Pasal 202 Ayat (3) bahwa sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan. Jika sekdes yang ada selama ini bukan PNS secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundang-undangan. Ketentuan pengangkatan menjadi PNS ini potensial menimbulkan keresahan, terutama bagaimana seandainya sekdes yang sekarang masih menjabat tidak memenuhi kualifikasi persyaratan?

Atau banyak pertanyaan lain, seperti bagaimana penetapan golongan ruang / pangkat untuk pengangkatan sebagai PNS, apakah menurut tingkat pendidikan atau diseragamkan berdasar jabatannya? Bagaimana perhitungan masa kerjanya, dihitung sejak diangkat menjadi sekdes ataukah sejak pertama diangkat sebagai PNS? Bagaimana sistem pembinaan dan pengawasannya? Bagaimana pola kariernya? Serta bagaimana ketentuan pensiunnya? Sederet pertanyaan di atas memerlukan antisipasi dari pemerintah maupun sekdes bersangkutan.

Pemerintah harus merancang pengaturan lebih lanjut dengan cermat dan hati-hati mengingat akan menyimpan persoalan tersendiri, karena menyangkut kesejahteraan sekdes dan juga kesiapan anggaran pemerintah. Diyakini, untuk mengatasi dampak dari aspek administrasi kepegawaian ini tidaklah mudah. Beragam kepentingan muncul dan tak menutup kemungkinan potensial saling bertentangan. Pandangan dari sisi kemanusiaan tidak ada salahnya untuk diperhatikan oleh pemerintah. Sedangkan bagi sekdes, hendaknya harus siap bersikap legawa jika secara administratif tidak memenuhi kualifikasi diangkat sebagai PNS.

Keempat, implikasi terhadap keuangan desa. Ketentuan mengenai keuangan desa sekarang diatur lebih mendetail. Contohnya Pasal 68 (Ayat 1), disebutkan bahwa sumber pendapatan desa meliputi : pendapatan asli desa; bagi hasil pajak daerah paling sedikit 10% dan retribusi kabupaten/kota; bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota paling sedikit 10%; bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemkab/pemkot; serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Cukup jelas tercantum berikut persentasenya. Desa memperoleh bagi hasil pajak, retribusi, dana perimbangan dan bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemkab/pemkot. Yang penting diperhatikan adalah bagaimana pemerintah daerah maupun pusat mengalokasikan perimbangan keuangan sesuai hak desa secara adil dan proporsional, sehingga dapat menjamin kecukupan anggaran serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai penutup, perlu disadari bersama bahwa kemungkinan implikasi-implikasi di atas sepantasnya menjadi perhatian kita. PP Nomor 72 tahun 2005 bisa jadi belum sempurna dan memancing ketidakpuasan banyak pihak. Semangat yang perlu dipegang, bagaimana otonomi pemerintahan desa dengan orientasi pada kualitas pelayanan publik bisa ditingkatkan tanpa mengabaikan kesejahteraan para aparatur pemerintahan desa. Kita berharap jangan sampai kelemahan dari PP menjadi bom waktu di kemudian hari. (24)
- Didik G Suharto, dosen Prodi Administrasi Negara, FISIP UNS.

Desa Mandiri Energi

Posted By Desa Mandiri On 01.25 0 komentar
Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Kantor Kepresidenan, Rabu (14/2) sore, memimpin rapat terbatas (ratas) yang dihadiri menteri-menteri terkait mengenai pengembangan Desa Mandiri Energi. Di Indonesia, terdapat sekitar 70 ribu desa, dimana 45 persen diantaranya adalah desa tertinggal.

“Dalam rapat tadi kita melaporkan mengen ai pengembangan Desa Mandiri Energi,” kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dalam keterangan persnya usai mengikuti ratas. Yang dimaksud Desa Mandiri Energi, lanjutnya, adalah desa yang dapat menyediakan energi dari desa itu sendiri. "Disamping itu, dia dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan serta memberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif,” jelasnya.

Dijelaskan, ada dua tipe Desa Mandiri Energi. Pertama adalah Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM, seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas. Yang kedua adalah Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau bioufuel. “Kami telah menyampaikan kepada Presiden bahwa ada tujuh departemen yang sudah mengembangkan Desa Mandiri Energ,i yaitu Departemen ESDM, Departemen Pertanian, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian BUMN, dan Departemen Kelautan dan Perikanan," kata Purnomo.

Total Desa Mandiri Energi yang terletak di 81 kabupaten berjumlah sekitar 100 desa yang menggunakan biofuel dan 40 desa menggunakan non BBM. “Tahun ini Presiden meminta untuk meningkatkan jumlah dari 150 Desa Mandiri Energi ditingkatkan menjadi 200 Desa Mandiri Energi. Bahkan pada akhir kabinet, Presiden ingin meningkatkan lagi menjadi 2000 Desa Mandiri Energi, masing-masing 1000 desa yang menggunakan biofuel dan non BBM," Purnomo menambahkan.

"Presiden SBY minta untuk menghitung kembali kebutuhan dana yang akan digunakan untuk membiayai Desa Mandiri Energi. Penghitungan ini akan dikoordinasi Menko Perekonomian dan Menko Kesra. Minggu depan akan diadakan peninjauan yang rencananya dilakukan Presiden sendiri di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah," lanjut Purnomo Yusgiantoro, didampingi Mentan Anton Apriyantono dan Ketua Timnas Pengembangan BBN Al Hilal Hamdi. (http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2007/02/14/1573.html)

Mempersiapkan Desentralisasi Bagi Desa - Menuju Otonomi Desa Sejati

Posted By Desa Mandiri On 03.34 0 komentar

Visi menuju Otonomi Desa menghendaki adanya usaha pengembangan masyarakat swadaya dan mandiri. Pemerintahan yang lebih tinggi diatas desa tidak lagi perlu repot untuk mengurusi persoalan skala desa karena Desa telah mampu menanganinya.

Kemampuan untuk mengurusi urusan mereka sendiri adalah keswadayaan Desa dan kemandirian Desa dibuktikan dengan tidak lagi bergantung kepada pemerintahan yang lebih tinggi diatasnya. Konsepsi Otonomi Desa tentu saja harus memperhatikan latar belakang perkembangan Desa itu sendiri. UU no 5 / 1979 – UU no 22 / 1999 – UU no 32 / 2004 akan dijadikan bahan dasar terhadap perkembangan Desa. Dapat dicermati pertama dari UU no 5 / 1979 tentang Pemerintahan Desa, yaitu desa masa lalu dalam kurun waktu 20 tahun sampai ditetapkannya UU no 22 / 1999.

Desa hanya sebagai wilayah administratif tanpa kewenangan apapun sehingga Desa hanya melakukan tugas pembantuan ( Bedebewind ) yang selalu tergantung kepada Juklak dan Juknis dari pemerintahan yang lebih tinggi darinya. Selama waktu itu Desa telah mengalami Pelemahan ( Depowering ) politik kebijakan sehingga mereka hampir tidak berani berinisiatif untuk membuat kebijakan ditingkat desa dan melakukan tindakan terobosan walaupun itu untuk kepentingan Desa. Selama kurun waktu itu Desa juga telah mengalami deideologisasi dan depolitisasi karena proses demokratisasi kelembagaan desa tidak berjalan sehingga desa menjadi konstruksi abstrak para elite sebagai floating mass ( massa mengambang ) yang dibiarkan tidak berkembang.

Warisan masa lalu itu telah menyebabkan (1) Matinya / melemahnya institusi lokal (2) Menurunnya kepercayaan diri dan kemampuan prakarsa ditingkat desa (3) Hilangnya kemandirian dan keswadayaan desa (4) Apatisme masyarakat desa terhadap proses pembagunan didesa (5) Desa statis dan tidak berkembangnya sumber daya . Dari analisa perkembangan tersebut, tentu saja tidak mudah bagi desa yang telah lama lumpuh sehingga tiba – tiba berdiri dan berlari kencang , karena tentu saja ada prasyarat – prasyarat yang harus dipersiapkan untuk memapah ketidakberdayaan Desa.

Pada UU no 22 / 1999, kondisi desa pada waktu ini sebenarnya telah menemukan penataan nya kembali untuk berotonomi, namun pasca UU no 5 / 1979 masuk kepada UU no 22 / 1999 menginsyaratkan kepada desa untuk melakukan persiapan dalam momentum menata kembali keswadayaan dan kemandiriannya .

Sekali lagi , hal ini tentu saja tidak mudah karena dalam transisi antara masa ketertindasan menuju masa berotonomi banyak sekali yang harus dipersiapakan terutama tentang konsepsi otonomi desa seperti apa ? apa yang harus di – desentralisasikan ? apa prasyarat nya ? apa peluang desa ? dan apa yang harus segera dan mungkin dilakukan ? Bagaimana posisi Desa dan Pemerintah daerah ?.

Diantara semua usaha yang terus di upayakan sebagai bentuk implementasi dari amanat undang – undang ternyata Desa masih gamang dengan peluang yang diberikan kepadanya dikarenakan 20 tahun telah dilemahkan. Secara internal Desa belum sempat berbuat untuk menyambut kebijakan baru ini , pun pemerintah daerah belum menunjukkan fungsi fasilitasi dan assistensi untuk segera mendorong otonomi bagi desa dan ternyata, 5 tahun bukan waktu yang cukup untuk membantu desa untuk bangkit kembali menemukan bentuk otonomi nya. Bagi Kalimantan Barat sendiri , waktu 5 tahun itu belum digunakan untuk menunjukkan tindakan yang signifikan, bahkan hanya untuk sosialisasi membangun wacana tentang konsepsi Otonomi Desa di Kalimantan Barat.

Lalu bagaimana dengan UU no 32 / 2004 ? Pada BAB XI dari Pasal 200 – Pasal 216 telah mengatur tentang Desa, dan sekarang telah memasuki kurun waktu hampir 2 tahun, apabila pada peraturan sebelumnya belum sepenuhnya dapat berbuat, sewajarnya pada saat ini tidak boleh lagi kecolongan. Mengenai konsepsi pemerintah propinsi Kalimantan Barat ; Konsep Desa mandiri digulirkan 2007.

Hemat penulis, haruslah memperhatikan kondisi perkembangan 1431 desa yang tentu saja berbeda antara satu dan yang lainnya . singkatnya harus ada prasyarat yang mesti dipersiapkan. Desa mandiri dalam semangat Otonomi Desa menginsyaratkan Mempunyai hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai – nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat sehingga diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri dan mendasar kepada kondisi keberagamannya. Pengadopsian otonomi desa berdasar kepada self - governing community yang berhubungan dengan status desa yang otonom, dan status yang berdasarkan kepada local self government - desentralisasi desa’.

Untuk Implementasi Desa mandiri dalam semangat local self goverment diperlukan konsekuensi penyerahan Kewenangan Desa ( desentralisasi ) ; (1)Desentralisasi kewenangan ( penyerahan pengaturan urusan ke desa berdasarkan kapasitas sumber daya dan potensi desa ) (2) Desentralisasi Keuangan ( Perimbangan keuangan Kabupaten dan Desa ) (3) Desentralisasi Pembagunan ( swakelola pembagunan skala desa ) (4) Demokratisasi kelembagaan desa ( peningkatan kapasitas insitusi lokal; partisipasi dan pemberdayaan masyarakat ) , sehingga konsep desa mandiri tidak hanya dinilai pada percepatan pertumbuhan ekonomi semata.

Desentralisasi desa menuju desa mandiri dalam bingkai Otonomi Desa akan memungkinkan adanya (1) Transfer tanggungjawab, perencanaan, managemen, dan peningkatan alokasi sumber daya dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa yaitu dalam bentuk penyerahan pengaturan urusan / devolusi “ karena sifat desa yang otonom (2) Penyediaan kemanfaatan ditingkat desa dapat lebih beragam, dapat memenuhi atau sesuai keinginan dan kebutuhan warga desa secara lebih baik (3) Pengambilan keputusan lebih dekat pada kelompok masyarakat yang dimaksudkan untuk penyediaan pelayanan, sehingga lebih tanggap pada perhatian atau keinginan masyarakat (4) Mengurangi tingkatan birokrasi pelayanan (5) Mengeleminasi ekses – ekses ketidakadilan bagi desa (6) Mempertinggi kompetisi antar desa dan inovasi dalam partisipasi pembagunan.

Terakhir, penulis hanya ingin berkontribusi pendapat bahwa Konsep Desa Mandiri yang digulirkan Tahun 2007 merupakan Visi menuju Otonomi desa, yang meminta tanggungjawab dan Fasilitasi dari Pemerintah Daerah selain secara internal desa juga sudah harus berbenah, 1431 Desa dikalimantan Barat tidak dengan sendirinya berotonomi tanpa dukungan legislasi yang kuat , proses assistensi yang berbasis kinerja , fungsi fasilitasi yang berkelanjutan . Karena kita mungkin hanya punya waktu 3 tahun lagi , diakhir tahun 2009 nanti - kita tidak tahu apakah peraturan akan berpihak kembali kepada Desa dan Bagi Gubernur Kalimantan Barat sekarang, Beliau masih punya waktu di tahun 2007 untuk mempersiapkan desentralisasi Desa menuju Desa mandiri dalam Otonomi Desa Sejati.*) Ireng Maulana (Aktivis Lembaga Gemawan)

Pembangunan Desa: Meski Didasarkan Prespektif Orang Desa

Posted By Desa Mandiri On 03.10 0 komentar
Konsep pembangunan desa yang selama ini kita terapkan bias kepada cara pandang kota, karena menggunakan pendekatan pembangunan kota, dan juga diukur berdasarkan indikator-indikator kemajuan ekonomi kota. Sosial budaya masyarakat desa tidak dipandang khas, namun direndahkan atau dianggap belum sempurna, berdasarkan ukuran relatif sosial budaya masyarakat kota. Timbulnya konsep pembangunan pertanian dengan berbasiskan kepada desa membutuhkan perubahan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu dengan meninggalkan pembangunan desa dengan cara pandang kota karena tidak akan pernah melihat desa sebagai entitas sosial ekonomi dan budaya yang khas. Desa harus didekati dan disentuh dengan pendekatan yang spesifik agar seluruh potensinya dapat tergali dan dikembangkan dengan optimal.

Dikotomi kota dan desa tidak terhindarkan dalam teori dan pelaksanaan pembangunan, dimana kegiatan pertanian dianggap identik dengan desa, sedangkan industri identik dengan kota. Dikotomi yang cenderung hitam putih ini membawa implikasi yang banyak menimbulkan masalah.

Di negara berkembang umumnya, pembangunan yang lebih banyak difokuskan di perkotaan dengan penekanan pada pembangunan industri dibandingan di pedesaan menyebabkan terjadinya ‘bias pada perkotaan’, yang mencerminkan alokasi sumberdaya yang lebih berpihak pada kota sedangkan sektor pertanian diabaikan. Sebaliknya, pembangunan pedesaan (rural-led development) didesain dengan cenderung mengabaikan perkotaan dan mendefinisikan wilayah perdesaan sebagai aktifitas pertaniannya belaka. Padahal, selain khas dan bahwa desa tidak sama dengan kota, karakteristik sosial ekonomi penduduk pedesaan dan sumberdaya alam yang medukungnya pun sangat beragam antar belahan dunia.

Hal ini menyebabkan pembangunan pada kota-kota besar banyak menimbulkan permasalahan seperti urbanisasi dan sektor informal yang tidak terkontrol, di lain pihak pada wilayah pedesaan terjadi tekanan terhadap penduduk dan sumber daya alam, timbulnya kemiskinan di pedesaan, degradasi lingkungan serta merenggangnya hubungan sosial yang ada. Perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah, menunjukkan bahwa kawasan perdesaan masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin di perdesaan pada tahun 2004 mencapai 24,6 juta jiwa, dua kali lipat lebih lebih tinggi daripada di perkotaan, yaitu 11,5 juta jiwa. Berkaitan dengan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), menjadikan pembangunan perdesaan sebagai salah satu bab tersendiri dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2005-2009. Namun, agar tidak terjadi lagi pembangunan pedesaan yang “urban bias” perlu perumusan-perumusan baru baik dalam konsep maupun strategi, pendekatan, dan indikator keberhasilan.

Jika ditelusuri perkembangan dari sisi keilmuan dan paradigma pembangunan, konsep tentang pembangunan desa tidak muncul begitu saja. Ini adalah sebuah reaksi yang lahir dari ketidakpuasan dari paradigma yang dianut selama ini. Pembangunan desa perlu dipandang secara terpisah, karena selain 80 persen penduduk bumi hidup di wilayah desa, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik sendiri yang khas. Desa bukanlah “kota yang belum jadi” atau “hinterland kota”. Selain khas, desa juga bersifat mandiri, atau setidaknya, ia mampu mandiri. Bahwa desa, sampai saat ini belum mandiri, penyebabnya adalah karena “kekeliruan” paradigma kita sendiri. Kita melihat desa dengan kacamata orang kota. Douglass (1998) menyatakan: “…. Most analyses of growth centers in rural development assume the perspective of the city looking outward to its hinterland”.

Paradigma kita tentang pembangunan desa berimplikasi kepada praktik dan desain kebijakan pemerintah terhadap pembangunan desa, sebagai objek ekonomi, sosial maupun politik. Ada dua paradigma yang tanpa sadar menjadi pegangan para pengambil kebijakan selama ini, yaitu bahwa desa dipersepsikan sebagai suatu yang “agung” dari sisi sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya, dan paradigma bahwa desa harus mencapai kemajuan sebagaimana kota. Desa yang disebut maju, atau sering disebut dengan “desa modern”, adalah desa yang secara visual menampakkan ciri-ciri kota baik lingkungannya maupun manusianya.

Sekelompok ahli yang disebut dengan kaum romantisme desa misalnya, melihat bahwa desa adalah sebuah tempat yang penuh dengan keindahan dan kedamaian, serta subur dan makmur. Nordholt (1987) misalnya menggambarkan struktur politik pedesaan yang dikonstruksi oleh semangat kekeluargaan yang kental, tanpa pamrih, dan penuh pengabdian. Desa digambarkan sebagai suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan, dimana mereka saling mengenal dengan baik. Corak kehidupan mereka relatif homogen, dan masih banyak tergantung pada alam.

Selain hanya melihat sisi eksotis desa, desa juga dipersepsikan sebagai objek yang statis. Paradigma lain melihat desa sebagai sebuah objek fisik, baik rumah maupun teritorinya. Hal ini misalnya terlihat dalam definisi “village” sebagai “a small community or group of house in a rural area usually smaller than a town and sometimes incorporated as a municipality”. Jelas tampak bahwa definisi ini memandang desa sebagai sebuah teritori dalam konteks dikotomis rural-urban, bukan pada karakter-karakter sosial-budaya dan sikap-sikap hidup masyarakat desa yang sesungguhnya khas (Hermansyah, 2007).

Paradigma yang tidak tepat tersebut muncul karena lemahnya pemahaman kita terhadap desa. Akibatnya, “orang kota” yang membangun desa akan jatuh dalam berbagai perangkap prasangka (lihat Chambers, 1987: tentang enam prasangka yang menjadi perangkap bagi agen program pembangunan desa).

Salah satu “pemaksaan” yang kita lakukan dalam pembangunan pedesaan adalah dengan menginvansi konsep “agribisnis”. Agribisnis adalah “agriculture regarded as a bussiness”, dengan kata kuncinya adalah untung dan efisien. Selain itu, cara berpikir masyarakat industri, yang kebetulan adalah konsumen produk-produk pertanian, mereka menuntut produk yang seragam, selalu ada setiap waktu, dan lain-lain. Padahal, produk pertanian tidak seperti itu, ada musim dan spesifikasi tempat tumbuh yang membuat hasil akhirnya tidak akan pernah asama dan kontinyu terus menerus. Karena pertanian (sisi suplay) dikuasai konsumen (orang industri kota), maka dipaksa-lah seluruh produk pertanian untuk berproduksi seragam dan sepanjang waktu. Seragam besarnya, warnanya, rasaranya, dan lain-lain.

Jadi, untuk dapat merumuskan sebuah konsep pembangunan desa, atau pembangunan pertanian yang berbasiskan desa, maka kita perlu merubah paradigma kita terhadap pembangunan yang selama ini cenderung bias kepada kepentingan kota. Selain itu, kita pun perlu merubah perspesi bahwa desa bukanlah kota yang belum jadi, atau bukan pula embryo kota. Penggunaan strategi dan indikator pembangunan kota terhadap desa adalah sebuah kekeliruan yang harus diperbaiki.

Di sisi lain, pembangunan desa juga tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan kota. Desa dan kota memiliki potensi yang berbeda, sehingga dengan memadukannya akan diperoleh keuntungan satu sama lain. Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa berbagai upaya telah dilakukan untuk merumuskan pembangunan desa yang terintegrasi dengan kota, baik pada tataran pemikiran maupun program di lapangan. *) Ir. Syahyuti, MSi

Ketimpangan Pembangunan Desa & Kota

Posted By Desa Mandiri On 02.56 0 komentar
Menyeruaknya arus reformasi mendorong perubahan di berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam sistem birokrasi di Indonesia. Kebijakan pemerintah menerapkan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32/33 Tahun 2004 dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri merupakan langkah awal dalam menghilangkan kelemahan pemerintahan sentralistik pada masa yang lalu. Dengan desentralisasi diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan dapat lebih ditingkatkan. Itulah harapan yang selalu diagung-agungkan oleh para pakar pemerintahan beberapa tahun terakhir.
Akibat dari perubahan tersebut di atas, maka daerah dihadapkan pada berbagai persoalan – persoalan, baik dalam pemerintahan, pembangunan maupun pelayanan masyarakat. Satu diantara sejumlah persoalan yang ada adalah perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang satu dengan wilayah lainnnya. Perbandingan antara kedua wilayah tersebut kemudian dipahami sebagai ketimpangan atau kesenjangan. Tapi yang pasti dari timbulnya kesenjangan tersebut juga menimbulkan timbulnya ”kecemburuan” yang berakibat kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara mendasar.
Dalam pandangan para ahli pembangunan, wilayah pedesaan dianggap mampu apabila ; sarana dan prasarana dasar tersedia dan masyarakatnya memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam kehidupan mereka, baik fisik maupun sosial-psikologis. Masyarakatnya secara umum memiliki tingkat pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan dan gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan hidup atau dengan kata lain kuat dari segi ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan politik. Di dalam proses pengembangan desa terdapat dua unsur pokok, yaitu pihak yang mengembangkan dan yang dikembangkan. Sebagai sebuah proses perubahan sosial, pembangunan desa identik dengan pembangunan masyarakat (community development) serta pembangunan sarana dan prasarana dasar. Dalam konteks ini, masyarakat hendaknya dipahami sebagai setiap orang yang berada di luar sektor publik atau pemerintah yang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam menciptakan kekuatan ekonomi di pedesaan.
Kaitannya dengan desentralisasi, pembangunan desa dapat menjadi sebuah dilema bagi pemerintah daerah, terutama daerah yang memiliki fundamental ekonomi lemah, maka dapat dipastikan bahwa desentralisasi pada daerah terserbut hanyalah sebuah nama, penerapannya akan menjadi lain dan bahkan akan terjadi ekstraksi atau eksploitasi. Ekstraksi sumberdaya alam seperti tambang memang memberi keuntungan bagi pemerintah daerah, tetapi masyarakat desa yang bermukim di sekitar lokasi tambang tidak melihat secara nyata hasil dari kegiatan tersebut, bahkan sebaliknya dampak negatif justru mereka yang merasakan.
Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, ketergantungan tetap saja ada antara daerah dan pusat. Hal tersebut juga terjadi antara wilayah dalam satu daerah, dimana desa sangat tergantung terhadap kota. Sehingga pusat-pusat kekuasaan (kota) menjadi jauh lebih makmur dari pada periferinya ; kekuasaan menjadi identik dengan kemakmuran dan kekayaan sekelompok orang. Akibatnya, orang-orang di daerah termasuk para pengusaha melakukan pendekatan terhadap para elit daerah agar dapat akses terhadap sumberdaya ekonomi yang ada. Berbagai kemudahan dan fasilitas untuk mengakses sumberdaya ekonomi ini kemudian menjelma menjadi sebuah komoditi yang dapat diperdagangkan juga, yang mungkin hal ini dapat dikatakan sebagai penyalah gunaan wewenang, antara lain dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena keterbatasan, terutama rendahnya fundamental ekonomi dan sumberdaya yang terbatas, menjadikan daerah sangat tergantung terhadap pusat, bahkan apa saja yang dilakukan daerah lain akan berusaha pula dilaksanakan meskipun potensi yang dimiliki berbeda.
Pembangunan saat ini tidak jauh berbeda dengan pendekatan sentralistik, kalau dulu daerah ditempatkan sebagai obyek yang pasif, saat ini wilayah desa dan kecamatan terutama rakyat yang menempati posisi pasif. Pendekatan dan praktek-praktek pembangunan seperti ini sesungguhnya jauh dari tujuan dan sasaran pelaksanaan destoda dan pada akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang semu, tidak bertumpu kepada pertumbuhan produktifitas nyata. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya fenomena dan realitas sosial yang tidak paralel dan serba kontradiksi dengan pertumbuhan ekonomi itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan pemerintah daerah di masa yang akan datang, hendaknya diukur dengan indikator-indikator sosial ekonomi yang lebih masuk akal dan nyata, misalnya tringkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan dan status kesehatan serta ketersediaan fasilitas pelayanan umum seperti ; air bersih, listrik, sarana telekomunikasi dan transfortasi. Indikator tersebut tidak hanya diukur pada wilayah perkotaan, tetapi juga sangat penting pada wilayah pedesaan. Tanpa indikator yang jelas dan terukur, birokrasi era otonomi akan tidak jelas dalam menetapkan pola dan program pembangunannya, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik. Dengan adanya indikator sebagaimana disebutkan di atas, maka target untuk setiap pemerintah daerah akan dapat ditetapkan. Dalam kaitan ini, kinerja eksekutif dan legislatif yang ada di daerah juga hendaknya diukur dengan menggunakan indikator yang lebih nyata, karena kewenangan yang mereka miliki sangat menentukan nasib rakyat. Ketika persoalan ekonomi masyarakat belum tertangani secara baik, maka kinerja pemerintah daerah perlu dipertanyakan, terutama bagi yang berwenang dalam pengambilan kebijakan.
Salah satu cara atau pendekatan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayah pedesaan adalah dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk meningkatkan status ekonomi rakyat secara berkelanjutan, mengingat kemampuan pemerintah daerah yang sangat terbatas. Perhatian hendaknya dipusatkan pada perbaikan ekonomi rakyat, karena akan dapat mempengaruhi perbaikan kondisi kesejahteraan sosial secara umum. Kondisi masyarakat , khususnya di wilayah pedesaan sangat membutuhan kebijaksanaan pembangunan yang didasari oleh determinisme ekonomi antara lain indikatornya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Untuk melakukan usaha perbaikan ekonomi masyarakat, peran pemimpin dalam pemerintahan otonomi akan sangat menentukan. Pemerintah daerah harus memiliki rencana dan program yang jelas berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan status sosial masyarakat pedesaan.
Di masa mendatang, sasaran pembangunan pemerintah daerah pada wilayah pedesaan hendaknya difokuskan pada tiga determinan pokok, yaitu ; pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan dan status kesehatan. Dalam bidang ekonomi, usaha dan pekerjaan masyarakat diarahkan pada peningkatan produktifitas lokal secara terus menerus, sehingga mampu menciptakan keuntungan dan meningkatkan tabungan masyarakat di pedesaan. Kebijaksanaan pembangunan daerah di masa datang perlu difokuskan pada pengembangan masyarakat sebagai sebuah entitas – sosial ekonomi. Dalam hal ini pendekatan pertumbuhan ekonomi perlu diarahkan ketingkat yang lebih kecil (pedesaan), dengan menggunakan ukuran pada tingkatan yang sama, antara lain pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita dan peningkatan produktivitas. Untuk menunjang kegiatan tersebut, sudah barang tentu dioerlukan optimalisasi potensi sumber daya melalui pendayagunaan dan penciptaan pemerataan kesempatan untuk memperoleh sumber daya sosial yang memadai seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini, penguasaan teknologi dan keterampilan oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai modal asar dalam pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial pada wilayah pedesaan.*Oval Hanif (http://ovalhanif.wordpress.com)

PILKADES; Sarana Mewujudkan Demokrasai Desa

Posted By Desa Mandiri On 19.04 0 komentar
Selama ini suksesi Pilkades tidak pernah kering dari pembicaraan mulai dari mulut kemulut, dari pena ke pena, dan dari otak ke otak. Hal ini terjadi mengingat karena Pilkades adalah refleksi bagaimana demokrasi itu coba diimplementasikan. Disisi lain Pilkades merupakan sarana sirkulasi elit dan transfer kekuasaan di tingkat lokal. Dalam konteks ini Pilkades diharapkan secara langsung membuat masyarakat mengerti akan hak dan kewajibannya. Pilkades adalah suatu moment dimana masyarakat mengerti posisi mereka sebagai warga dalam percaturan politik di desa tersebut. Dimana terjadi proses interaksi antara rakyat dan pemerintah sebagai wujud adanya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dimaklumi bersama, Pilkades tidak sesederhana apa yang kita bayangkan. Di dalamnya berimplikasi tentang banyak hal mengenai hajat hidup dan kepentingan orang banyak. Mulai dari proses, hasil hingga pasca kegiatan Pilkades adalah satu kesatuan yang utuh dan erat terkait di dalam menentukan arah dan agenda enam tahun ke depan ke mana desa tersebut akan dibawa.

Demokrasi desa adalah bingkai pembaharuan terhadap tata pemerintahan desa atau hubungan antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, (BPD) dan elemen-elemen masyarakat desa yang lebih luas. Saya hendak mengedepankan argumen bahwa desa harus “dibela” dan sekaligus harus “dilawan” dengan demokrasi.

Mengapa desa harus “dibela” tetapi juga harus “dilawan”? Bagaimana kita meletakkan desa dalam konteks demokrasi lokal? Seperti apa formulanya? Bagaimana membuat demokrasi bisa bekerja di desa? Untuk menjawab serangkaian pertanyaan itu, tulisan ini hendak menyandarkan diri pada prinsip yang demokratis.

Dalam memahami demokrasi di tingkat lokal ini, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara Pemerintah Desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan masyarakat.

Dinamika Desa

Diketahui bersama bahwa pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005.

Dari moment itu pula, pencerahan dapat dilakukan. Dimana arahnya yaitu menguak tentang pemahaman Desa Mandiri. Sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 Kepala Desa nantinya harus mampu mengimbangi laju perkembangan pemerintahan. Artinya profesionalitas seorang Kepala Desa jauh sekali lebih penting jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Kepala Desa dituntut mempunyai inisiatif untuk mengoptimalkan potensi desa, tertib administrasi, akuntabel (bertanggung jawab) dengan mekanisme pertanggungjawaban sesuai dengan prosedurnya.

Persoalannya sekarang apakah Desa sudah mandiri dalam melaksanakan Governance atau tidak? Jawabannya mungkin sudah jelas: belum mandiri. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana kemandirian desa dalam melaksanakan Governance itu dapat didorong sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya?

Kemandirian Desa dalam meningkatkan kesejahteraan para warganya terletak pada kemampuan komponen Governance yang ada dalam desa itu untuk mengorganisir sendiri semua potensi yang tersedia (Embedded) dalam lingkungannya. Namun tanpa kepiawaian birokrasi dan kemauan kuat dari pemangku jabatan politis, jangan-jangan malah “jauh panggang dari api”. Karena itu, dari sisi proses, diharapkan Pilkades harus terselenggara dengan lancar, jujur dan adil serta tidak ada kekerasan. artinya, Pilkades oleh semua stakeholders, elit dan warga desa hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai upaya pencerahan (enlightening) dan perekat berbagai komponen masyarakat, tetapi mampu pula mendorong terjadinya perubahan menuju kehidupan demokrasi substansial dan tata pemerintahan yang efektif.

Dengan kata lain kekuasaan yang diperoleh Kepala Desa harus melalui kompetisi politik yang sehat dan terbuka. Dengan demikian, kita harus membuka ruang publik yang lebih terbuka yang oleh Sosiolog Jerman Juergen Habermas dikatakan sebagai suatu proses yang mana masyarakat secara terbuka dan bebas untuk melakukan perdebatan, sehingga menjadikan dinamika politik lebih demokratis. Sebaliknya, harus dihindari perilaku politik yang mengarah ke hegemoni politik yang justru seringkali menggunakan cara-cara yang bersifat represif yang pada akhirnya mematikan aspirasi rakyat.

Indikator esensi terselenggaranya Pilkades dengan lancar, bermakna pada dua hal, yaitu dari aspek panitia itu sendiri. Fungsi seperti seleksi bakal calon yang dilakukan panitia telah dilaksanakan secara terbuka tidak hanya didominasi elit desa, tetapi melibatkan perwakilan tokoh masyarakat, yang mana proses dan hasilnya bisa diakses publik secara luas.

Selanjutnya dari persfektif kinerja penyelenggaraan, mulai dari proses penganggaran, penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon kepala desa, masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penentuan saksi di lapangan, pengawasan, penetapan kepala desa terpilih, hingga pengesahan dan pelantikan dapat dipastikan tidak menimbulkan konflik yang berakibat terganggunya kegiatan publik, di mana nilai-nilai kejujuran, profesionalisme semua pihak dan sikap transparansi lebih dikedepankan daripada kepentingan sesaat lainnya. Kedua, dari sisi hasil pilkades dapat menelorkan produk rekrutmen politik berupa terpilihnya kepala desa yang mempunyai basis legitimasi yang kokoh baik secara yuridis maupun politis.

Secara yuridis, artinya kepala desa yang terpilih dalam Pilkades adalah yang telah memenuhi semua kualifikasi seperti yang ditentukan dalam UU dan PP tentang Pilkades. Secara politis, kepala desa terpilih selain berkualitas dan yang tidak kalah penting mereka adalah yang bermoralitas, sehingga mampu memenangkan hati semua pihak di desa. Realitasnya berupa penerimaan atau pengakuan secara luas dari kalangan masyarakat.

Indikator penerimaan atau pengakuan secara luas, meliputi: terlihat dari pemahaman yang baik tentang kondisi daerah/desa yang akan dipimpinnya; mempunyai visi yang jauh ke depan terutama dalam menghadapi pusaran gelombang globalisasi; isu good governance dan tuntutan demokrasi parsipatoris; bisa mensinergikan potensi yang ada (SDA, SDM dan kelembagaan); berempati dan peduli terhadap masalah ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan; punya komitmen kuat terhadap pemberantasan KKN dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat yakin, terpilihnya pemimpin baru merupakan starting point terjadinya perbaikan secara signifikan kehidupan mereka, dan kepala desa terpilih adalah figur terbaik juga paling berkompeten memimpin desa di masa enam tahun ke depan.

Pasca Pilkades, terpilihnya seorang Kepala Desa hendaknya dapat memberikan kontribusi optimal dan signifikan terhadap perbaikan kualitas pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Kepala Desa harus mampu mendesain birokrasi pemerintahan desa dari semula sebuah lembaga yang mempunyai kinerja buruk, tidak lincah dan telmi (telat mikir) mengantisipasi perubahan menjadi birokrasi yang produktif, responsif, cekatan serta dihuni orang-orang yang berkapabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dipercayakan kepadanya. Kapabilitas itu antara lain terwujud dalam bentuk kemampuan mereka untuk menggerakkan secara efektif gerbong birokrasi lokal, sehingga performanya meningkat dan yang tak kalah pentingnya adalah kesediaan dari organisme birokrasi itu sendiri untuk melakukan perubahan.

Berkaitan dengan kemandirian desa yang terletak pada komponen Governance untuk mengorganisir sendiri semua potensi yang tersedia dalam lingkungannya. UNDP (1990) merekomendasikan beberapa karakteristik Good Governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen bidang publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa “good governance” dilandasi oleh empat pilar yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability, dan (4) participation.

Prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat. Ketiga prinsip ini tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri. Ada hubungan erat dan saling mempengaruhi. Masing-masing bagian adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik. Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini

Berkaitan dengan akuntabilitas, Ismail (2004), mengatakan bahwa akuntabilitas secara filosofi timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.

Dalam perspektif ini artinya akuntabilitas pemerintah desa tidak dapat diketahui tanpa pemerintah memberitahukan kepada rakyat tentang informasi sehubungan dengan pengumpulan sumber daya dan sumber dana masyarakat beserta penggunaannya untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain bahwa pihak yang diberikan mandat/amanah harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas tugas yang dipercayakan kepadanya dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dirasakan baik yang mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan. Dan yang lebih penting lagi bahwa laporan pertanggungjawaban tersebut bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun termasuk juga kinerja dari pelaksanaan suatu manajemen strategis yang mampu menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan.

Pengelolaan Kebijakan Desa

Sebuah kebijakan (Peraturan Desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, Peraturan Desa (Perdes) berbasis masyarakat berarti setiap Perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, Perdes yang dibuat bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Secara substansi, prinsip dasarnya bahwa Perdes lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, Perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa.

Dipandang dari “manfaat untuk masyarakat”, Perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, Perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan lain sebagainya.

Sesuai dengan logika demokrasi, Perdes berbasis masyarakat disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi Perdes. Formulasi adalah proses perumusan rancangan Perdes yang bisa dilakukan oleh BPD dan/atau oleh Pemerintah Desa.

Konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan merevisi terhadap naskah Raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam proses konsultasi sebelumnya. Naskah Raperdes yang sudah direvisi kemudian disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh Pemerintah Desa dan BPD. Sebelum Perdes diimplementasikan, maka Pemerintah Desa dan BPD wajib melakukan sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap, maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses implementasi, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian berbagai pihak ini menjadi umpan balik untuk bahan inovasi terhadap implementasi, dan jika masalah terlalu berat maka umpan balik bisa digunakan sebagai pijakan untuk merevisi Perdes.

Kepemimpinan dan Kepemerintahan

Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent maupun kepemimpinan yang birokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa.

Pemerintah Desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.

Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.

Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.

Partisipasi Masyarakat

Teori demokrasi mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary people) dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Gaventa dan Valderama (1999), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga. Diskusi yang lebih luas mengenai partisipasi telah menempatkan “partisipasi warga” baik sebagai konsep maupun praktek yang niscaya berbeda dengan partisipasi politik yang lebih menekankan ‘representasi’ dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi ‘diluar’ lembaga kepemerintahan, partisipasi warga menekankan pada ‘partisipasi langsung’ warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan.

Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya. Karena melekat, maka hak ini tidak hilang ketika ia memberikan mandat pada orang untuk duduk dalam lembaga pemerintahan. Pemberian mandat bersifat parsial, yaitu mendudukan wakilnya untuk membahas dan memutuskan urusan publik di lembaga formal kenegaraan. Sedangkan hak politik -- sebagai hak asasi manusia -- tetap melekat pada setiap individu yang bersangkutan. Untuk itu adalah hak setiap warga untuk menjaga ruang publik dari intervensi negara, mengagregasikan persoalan dan berbagai kepentingan di ruang publik, merancang agenda publik, dan terus menerus mengawasi lembaga perwakilan dan pemerintahan agar bekerja sesuai dengan mandat yang diberikan.

Disisi lain partisipasi harus dilakukan secara sistemik bukan hal yang insidental. Dalam partisipasi politik, partisipasi yang memiliki arti biasanya hanya dilakukan dalam siklus peristiwa politik untuk memilih dan mendudukan Kades terpilih atau dalam konsep partisipasi sosial partisipasi dihubungkan dengan siklus proyek. Partisipasi warga memungkinkan warga terlibat secara sistemik dan terus menerus dalam pengambilan keputusan publik. dalam konteks ini kita perlu mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik secara langsung

Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yaitu setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yaitu setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.

Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat), melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh, dan sebagainya. Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekadar menerima sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal. Partisipasi dalam pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan (Rencana Pembagunan Jangka Menengah Desa, program pembangunan dan APBDes, dan lain-lain), antara lain melalui forum RT, musrenbangdus, musrenbangdes maupun rembug desa. Forum-forum tersebut juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola proses akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah desa.

Kontrol masyarakat terhadap elite lokal merupakan indikator penting dalam partisipasi, sebagai arena yang memungkinkan elite lokal itu bertanggungjawab dan tanggap terhadap kepentingan warga. Kontrol bisa dilakukan dengan hadirnya institusi pemantau (watch dogs), dan yang lebih penting adalah terlembaganya mekanisme petisi, mosi tidak percaya, atau recalling terhadap elite lokal oleh masyarakat. Masyarakat pemilih (konstituen), misalnya, bisa menarik diri terhadap wakil rakyat yang terbukti tidak bertanggungjawab atau tidak menjalankan amanat rakyat. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan main baik Undang-undang, Peraturan Daerah maupun Peraturan Desa.

Membangun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk kegiatan seremonial, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Di desa sekarang, sebenarnya telah tumbuh kesadaran baru untuk membangun organisasi lokal yang berbasis pada prakarsa masyarakat secara mandiri. Di Desa Sambongrejo Kecamatan Semanding, Kab. Tuban misalnya, tumbuh sebuah organisasi bernama Kelompok Tani Penghijauan UP UPSA Wonoasri, Kelompok Tani Sumber Mulya, dan Lumbung Desa yang digerakkan oleh para tokoh masyarakat untuk pengembangan ekonomi ditingkat lokal dengan basis partisipasi. *) Kang Naryo

Dinamika DESA; Sarana Mewujudkan Demokrasi Desa

Posted By Desa Mandiri On 17.29 0 komentar
Diketahui bersama bahwa pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005.

Dari moment itu pula, pencerahan dapat dilakukan. Dimana arahnya yaitu menguak tentang pemahaman Desa Mandiri. Sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 Kepala Desa nantinya harus mampu mengimbangi laju perkembangan pemerintahan. Artinya profesionalitas seorang Kepala Desa jauh sekali lebih penting jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Kepala Desa dituntut mempunyai inisiatif untuk mengoptimalkan potensi desa, tertib administrasi, akuntabel (bertanggung jawab) dengan mekanisme pertanggungjawaban sesuai dengan prosedurnya.

Persoalannya sekarang apakah Desa sudah mandiri dalam melaksanakan Governance atau tidak? Jawabannya mungkin sudah jelas: belum mandiri. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana kemandirian desa dalam melaksanakan Governance itu dapat didorong sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya?

Kemandirian Desa dalam meningkatkan kesejahteraan para warganya terletak pada kemampuan komponen Governance yang ada dalam desa itu untuk mengorganisir sendiri semua potensi yang tersedia (Embedded) dalam lingkungannya. Namun tanpa kepiawaian birokrasi dan kemauan kuat dari pemangku jabatan politis, jangan-jangan malah “jauh panggang dari api”.

Karena itu terpilihnya seorang Kepala Desa hendaknya dapat memberikan kontribusi optimal dan signifikan terhadap perbaikan kualitas pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Kepala Desa harus mampu mendesain birokrasi pemerintahan desa dari semula sebuah lembaga yang mempunyai kinerja buruk, tidak lincah dan telmi (telat mikir) mengantisipasi perubahan menjadi birokrasi yang produktif, responsif, cekatan serta dihuni orang-orang yang berkapabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dipercayakan kepadanya. Kapabilitas itu antara lain terwujud dalam bentuk kemampuan mereka untuk menggerakkan secara efektif gerbong birokrasi lokal, sehingga performanya meningkat dan yang tak kalah pentingnya adalah kesediaan dari organisme birokrasi itu sendiri untuk melakukan perubahan.

Dari sisi konteks kebijakan, Peraturan Desa (Perdes) harus berbasis masyarakat, artinya bahwa setiap Perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, Perdes yang dibuat bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Secara substansi, prinsip dasarnya bahwa Perdes lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, Perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa. Dipandang dari “manfaat untuk masyarakat”, Perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, Perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan lain sebagainya.

Sesuai dengan logika demokrasi, Perdes berbasis masyarakat disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi Perdes. Formulasi adalah proses perumusan rancangan Perdes yang bisa dilakukan oleh BPD dan/atau oleh Pemerintah Desa. Konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan merevisi terhadap naskah Raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam proses konsultasi sebelumnya. Naskah Raperdes yang sudah direvisi kemudian disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh Pemerintah Desa dan BPD. Sebelum Perdes diimplementasikan, maka Pemerintah Desa dan BPD wajib melakukan sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap, maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses implementasi, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian berbagai pihak ini menjadi umpan balik untuk bahan inovasi terhadap implementasi, dan jika masalah terlalu berat maka umpan balik bisa digunakan sebagai pijakan untuk merevisi Perdes.

Pemerintah Desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.

Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.

Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.

Membangun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk kegiatan seremonial, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa.
Karena itu pergi dan temuilah masyarakatmu, hiduplah dan tinggallah bersama mereka, cintai dan berkaryalah bersama mereka. Mulailah dari apa yang telah mereka miliki, buat rencana lalu bangunlah rencana itu dari apa yang mereka ketahui, sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata: "KAMILAH”yang telah mengerjakannya.*) Kang Naryo